Senin, 30 November 2009

PEMANTAUAN PENURUNAN TANAH (LAND SUBSIDENCE) DI KOTA-KOTA BESAR DENGAN GPS



FENOMENA LAND SUBSIDENCE

Land subsidence (penurunan tanah) adalah suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen, seperti Jakarta, Semarang, Bangkok, Shanghai, dan Tokyo. Dari studi penurunan tanah yang dilakukan selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Dari empat tipe penurunan tanah ini, penurunan akibat pengambilan air tanah yang berlebihan dipercaya sebagai salah satu tipe penurunan tanah yang dominan untuk kota-kota besar tersebut.

Karena data dan informasi tentang penurunan muka tanah akan sangat bermanfaat bagi aspek- aspek pembangunan seperti untuk perencanaan tata ruang (di atas maupun di bawah permukaan tanah), perencanaan pembangunan sarana/prasarana, pelestarian lingkungan, pengendalian dan pengambilan airtanah, pengendalian intrusi air laut, serta perlindungan masyarakat (linmas) dari dampak penurunan tanah (seperti terjadinya banjir); maka sudah sewajarnya bahwa informasi tentang karakteristik penurunan tanah ini perlu diketahui dengan sebaik-baiknya dan kalau bisa sedini mungkin. Dengan kata lain fenomena penurunan tanah perlu dipelajari dan dipantau secara berkesinambungan.

————————————————————————————————————————————————–

TEKNIK PEMANTAUAN LAND SUBSIDENCE

Pada prinsipnya, penurunan tanah dari suatu wilayah dapat dipantau dengan menggunakan beberapa metode, baik itu metode-metode hidrogeologis (e.g. pengamatan level muka air tanah serta pengamatan dengan ekstensometer dan piezometer yang diinversikan kedalam besaran penurunan muka tanah) dan metode geoteknik, maupun metode-metode geodetik seperti survei sipat datar (leveling), survei gaya berat mikro, survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar).

—————————————————————————————————————————————————

TEKNIK PEMANTAUAN LAND SUBSIDENCE DENGAN GPS

GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang berbasiskan pada pengamatan satelit-satelit Global Positioning System [Abidin, 2000; Hofmann-Wellenhof et al., 1997]. Prinsip studi penurunah tanah dengan metode survei GPS yaitu dengan menempatkan beberapa titik pantau di beberapa lokasi yang dipilih, secara periodik untuk ditentukan koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode survei GPS. Dengan mempelajari pola dan kecepatan perubahan koordinat dari titik-titik tersebut dari survei yang satu ke survei berikutnya, maka karakteristik penurunan tanah akan dapat dihitung dan dipelajari lebih lanjut.

GPS memberikan nilai vektor pergerakan tanah dalam tiga dimensi (dua komponen horisontal dan satu komponen vertikal). Jadi disamping memberikan informasi tentang besarnya penurunan muka tanah, GPS juga sekaligus memberikan informasi tentang pergerakan tanah dalam arah horisontal.

GPS memberikan nilai vektor pergerakan dan penurunan tanah dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal. Dengan itu maka GPS dapat digunakan untuk memantau pergerakan suatu wilayah secara regional secara efektif dan efisien.

GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa mm, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan tingkat presisi yang tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya pergerakan dan penurunan tanah yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi dengan baik.

GPS dapat dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun malam), dalam segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka pelaksanaan survei GPS untuk pemantauan pergerakan dan penurunan muka tanah dapat dilaksanakan secara efektif dan fleksibel.

—————————————————————————————————————————————————

Penelitian Land Subsidence di Jakarta dengan GPS
Land Subsidence telah cukup lama dilaporkan terjadi di wilayah Jakarta. Menurut para peneliti selama ini ada empat tipe land subsidence yang mungkin terjadi di basin Jakarta, yaitu subsidence karena pengambilan air tanah yang berlebihan, land subsidence karena beban bangunan, land subsidence karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta land subsidence yang diakibatkan oleh timbulnya gaya tektonik.
Secara umum informasi tentang karakteristik dan pola land subsidence (penurunan tanah) di wilayah Jakarta akan sangat bermanfaat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan yang berkelanjutan di wilayah Jakarta.
Pemantauan penurunan tanah di wilayah DKI Jakarta menggunakan teknologi satelit GPS telah dilasanakan secara periodik sejak tahun 1997 sampai dengan akhir tahun 2005 oleh KK Geodesi bekerjasama dengan BAKOSURTANAL dan Pemda DKI, dimana survei pengukurannya telah dilakukan sebanyak 5 periode pengamatan.


Dari hasil pengolahan data survey GPS memang diperoleh informasi mengenai adanya penurunan tanah di wilayah Jakarta, dimana daerah Jakarta utara merupakan wilayah yang cukup signifikan terjadi penurunan tanah. Besarnya penurunan tanah diwilayah Jakarta selama lima periode ini rata–rata berkisar antara beberapa centimeter sampai beberapa belas centimeter, dan di daerah tertentu ada yang mencapai beberapa puluh centimeter.

————————————————————————————————————————————————–
Penelitian Land Subsidence di Bandung dengan GPS
Land Subsidence memang belum banyak dilaporkan di wilayah Bandung. Namun demikian, dari hasil beberapa penelitian memperlihatkan adanya bukti land subsidence memang terjadi di daerah Bandung. Kemungkinan besar faktor yang menjadi sebab terjadinya subsidence di Bandung ini karena pengambilan air tanah yang berlebihan, disamping karena adanya efek konsolidasi dari lapisan tanah, dan efek lain.
Fenomena land subsidence (penurunan tanah) ini merupakan salah satu faktor yang cukup signifikan penyebab terjadinya banjir di suatu daerah atau kawasan. Ketika titik-titik yang mewakili suatu kawasan mengalami penurunan, yang menyebabkan daerah tersebut menjadi lebih rendah dari tempat-tempat lainnya (membuat cekungan), atau malah lebih rendah dari bentang hidrologi yang ada di sekitarnya, maka daerah tersebut akan menjadi daerah yang berpotensi banjir terutama ketika musim hujan tiba.

Pemantauan penurunan tanah di wilayah Bandung dan sekitarnya (Bandung Basin) menggunakan teknologi satelit GPS telah dilasanakan secara periodik oleh KK Geodesi bekerjasama dengan Dinas Pertambangan Jawa Barat sejak tahun 2000 sampai dengan akhir tahun 2005, dimana survei pengukurannya telah dilakukan sebanyak 5 periode pengamatan.


Dari hasil pengolahan data survey GPS memang diperoleh informasi mengenai adanya penurunan tanah di wilayah Bandung, dimana daerah Cimahi, Dayeuh Kolot, dan Cicalengka merupakan wilayah yang cukup signifikan terjadi penurunan tanah. Besarnya penurunan tanah di wilayah Bandung selama lima periode ini rata–rata berkisar antara beberapa centimeter sampai beberapa desimeter, dan di daerah yang disebutkan di atas mencapai beberapa puluh centimeter. Daerah-daerah tersebut adalah merupakan daerah Industri yang memang mengkonsumsi air tanah yang cukup banyak.










PENURUNAN TANAH

Penurunan tanah (land subsidence) merupakan suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kota – kota besar yang berlokasi di sekitar pantai atau dataran alluvial, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Penurunan tanah berhubungan dengan fenomena – fenomena alam dan lingkungan yang dibangun manuasia seperti terjadinya banjir, intrusi air laut, perubahan aliran sungai, dan penataan konstruksi bangunan yang nota bene bersifat destruktif. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk mengetahui apakah penurunan tanah dapat mempengaruhi nilai tanah atau tidak. Data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain data spasial yaitu Peta Zona Nilai Tanah, dan Peta Geologi Lambar Jakarta dan Kepulauan Seribu. Sedangkan data nonspasial yaitu data Nilai Indikasi Rata-Rata dan grid penurunan tanah. Data tersebut diolah menggunakan software ArcView. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 1997-1999 korelasi antara penurunan tanah dengan perubahan nilai tanah sebesar 0,164. Sedangkan pada tahun 1999-2000 sebesar 0,318, dan pada tahun 2000-2001 sebesar 0,108. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara penurunan tanah dan perubahan nilai tanah adalah sangat lemah atau dianggap tidak ada.

PENURUNAN TANAH DI SEMARANG

SEMARANG - Penurunan tanah di Kota Semarang bisa mencapai lebih 100 mm per tahun. Selain pengambilan air tanah, kondisi tanah juga sangat memengaruhinya. Kabid Pembangunan III Bappeda Kota Semarang M Farchan, Jumat (24/11) mengemukakan, hal itu telah diteliti berbagai pihak.

Salah satunya Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2001 lalu. ''Angka penurunan tanah itu, antara satu daerah dan lainnya berbeda,'' ungkap dia. Contohnya, wilayah Genuksari dan sekitarnya yang rata-rata mencapai 11,25 mm per tahun. Namun wilayah Bangetayu justru lebih tinggi, yakni 58,50 mm dan Pedurungan Tengah 88 mm per tahun. Paling Drastis Angka penurunan tanah yang paling drastis terjadi di Bandarharjo, rata-rata 171 mm per tahun. Untuk Tanah Mas bagian utara 128 mm, sementara bagian selatan 130 mm per tahun. Farchan juga mengungkapkan, jika penurunan tanah di Kota Semarang itu berlangsung secara alami, prosesnya akan berhenti sekitar 500 tahun setelah pendangkalan. Dia pun memberikan gambaran bahwa pendangkalan Semarang bermula pada abad ke-10. Saat itu, Bukit Bergota masih berupa pulau yang terpisah dari daratan induk. Proses itu berlanjut dan pada abad ke-15 hingga abad ke-18 terbentuk daratan. Sekitar 93 tahun kemudian, garis pantai Kota Semarang semakin menjorok ke utara sekitar 581 meter dan 51 tahun kemudian menjorok 303 meter lagi. Saat ini, 1.200 hektare lahan dataran rendah antara lain di Semarang Barat, Semarang Utara, Gayamsari bagian utara, dan Genuk, berada di bawah permukaan air laut pasang. Akibatnya, saat pasang, air laut menggenangi daratan (rob).


 

dragon © 2008. Design By: SkinCorner